Share

02 : Bertemu Dengan Si Kakek Kekar 

Tubuh Satchel hampir saja terhuyung ke belakang saat pintu tinggi itu sudah tertutup dengan sempurna. Apalagi suara bantingan yang menggelegar membuat telinganya sedikit agak berdengung.  

Benar-benar memang orang kaya ini. Dia tidak memiliki etika padahal dengan jelas-jelas Satchel masih berada di depan pintu.  

Ia mendengus kesal.  

“Lihat saja! Jangan panggil aku Satchel jika tidak bisa menembus kokohnya dinding rumah yang besar ini.”  

Kruyuk!!  

Uh, benar-benar hari yang sangat membuatnya ingin sekali memakan daging manusia. Bagaimana bisa di tengah ia yang sedang marah, perut ini tidak bisa diajak kerja sama.  

“Ayolah, cacing, apa kau tidak bisa memberikanku waktu sejenak untuk mencari uang? Kau tidak lihat bagaimana tadi pria besar itu menutup pintu dengan sangat kencang? Andaikan aku rayap, aku bisa dengan mudah menggigiti pintu besar ini!”  

Satchel menatap ke sekeliling halaman yang luas ini. Sebenarnya agak aneh karena di rumah ini kenapa tidak ada penjaga atau pelayan yang berlalu lalang, hanya ada seorang satpam di depan pintu. Pria itu juga justru menyuruhnya untuk mengetuk rumah ini seorang diri.  

“Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” tanya seseorang yang tepat berada di belakang Satchel.

Satchel terkejut bukan main. Kepala belakangnya saja sampai mengenai dada pria itu yang mengenakan tuksedo hitam.  

“Uh? Aku—aku baru saja melamar pekerjaan.” Ia mendongak. 

“Bagaimana kau bisa sampai di sini tanpa penjagaan yang ketat?” Nada suara pria itu datar tapi terdengar menggeram. Satchel bisa juga melihat kedutan samar di bibirnya.  

“Penjaga di depan gerbang tadi mengizinkanku masuk seorang diri,” katanya berbicara dengan apa adanya. Memang seperti itu.  

Namun, setelah Satchel katakan demikian, ia melihat wajah pria itu yang bertambah kaku. Bisa dipastikan bahwa manik yang tertutup kacamata itu memandang dengan sangat tajam.   

“Alan!” desisnya pelan. Tapi itu bisa membuat Satchel mendengar cukup jelas.  

Pria berbadan besar itu berdeham. “Anda sudah bertemu dengan Tuan Muda?” 

“Apakah yang kau anggap tuan muda itu adalah seorang pria yang memiliki tinggi begini?” Satchel menaikkan tangannya di udara dan memberikan gambaran pada pria ini. “Pria yang memiliki tindik di telinga?”  

“Ya.”  

Satchel menghela napas. Sudah ia duga bahwa pria yang disebut sebagai Tuan Muda itu adalah pemilik dari rumah besar ini.  “Ya, aku sudah menemuinya di sini.” Sedikit menekankan kata ‘di sini’ agar tahu bahwa Tuan Muda itu sangat menyebalkan.  

“Lantas bagaimana? Apakah Anda masih memiliki urusan yang lain lagi? Kalau tidak, maka Anda bisa angkat kaki dari rumah ini.” 

Jika saja rahang Satchel elastis, bisa dipastikan saat ini akan jatuh menyentuh lantai.  

“Kau mengusirku?” tanya Satchel yang masih sedikit terkejut dengan perkataan pria besar itu.

“Tidak mengusir. Tapi ini adalah prosedur yang ada. Jika tamu sudah selesai, maka segeralah untuk pergi dan melanjutkan aktivitas Anda. Saya tahu bahwa Anda juga pasti tidak diterima oleh Tuan Muda.”  

Ya Tuhan, Satchel sudah hidup di dunia ini selama kurang lebih 25 tahun dan sekarang ia malah menemukan banyak pria yang sangat menyebalkan dalam satu rumah? Oh! Satchel tahu, apakah ini semua adalah karena ia telah— 

“Hei!” Jentikkan jemari penjaga ini ada di depan muka Satchel. “Anda tidak perlu melamun, yang Anda perlukan adalah cepat pergi dari sini karena sebentar lagi Tuan Besar akan datang. Ia sangat tidak menyukai orang lain menginjakkan kaki di rumahnya.”  

Satchel dengan cepat langsung pergi sambil menyentak kaki di setiap langkah yang ia ambil. 

Awas saja mereka. Aku bisa pastikan bahwa akan tetap menginjakkan kaki di rumah ini dan  menjadi pengasuh bayi miliarder.  

***

Satchel menghela napas panjang berulang kali. Ia bahkan sudah mengumpat pada mesin kaleng soda ini dan mencurahkan isi hati pada benda biru yang tingginya lebih darinya. Memang benar, lebih enak bercerita pada benda mati daripada harus bercerita pada makhluk hidup yang mungkin saja bisa buatmu emosi karena komentarnya.  

Satchel kembali merogoh koin yang ada di tas kecil dan tidak mendapatkan apa-apa.  Semua habis.

“Ya, Tuhan, uangku sudah habis dan aku belum bisa membeli makanan untuk cacing di perutku?” Sungguh di umur yang begini entah kenapa ia merasa sangat miris menjalani hidupnya sendiri. Tak ada dolar bahkan uang koin di saku.  

Saat masih meratapi nasib yang tak kunjung usai, ia melihat ada tangan besar merogoh untuk memasukkan lembaran dolar pada mesin soda itu. Sontak satchel langsung menyingkir.

Seorang pria tua dengan tongkat yang ada di tangannya. Belum lagi penampilan pria itu sangatlah elegan dan juga terlihat kaya.  

Satchel memutar bola matanya. Ini adalah kali ketiga ia menemukan pria yang serupa dalam kurun waktu dua jam. Ia jadi sanksi bahwa Toronto ini dihuni oleh orang kaya semua dan hanya dialah penduduk termiskin.  

“Minumlah,” kata pria tua itu dan memberikan kaleng soda yang mahal daripada lainnya.  

Satchel kikuk. Ternyata ia salah besar. Pria baya ini cukup baik.  

Satchel mengambil kaleng soda itu dan mengatakan terima kasih.  

“Apa yang sedang kau lakukan di sini? Aku bahkan sudah melihatmu bermenit-menit yang lalu berbicara dengan benda ini.” Pria baya itu bertumpu pada tongkatnya yang hitam dan mengkilap.  

Sungguh Satchel malu. Jadi, sedari tadi ada orang yang melihatnya? 

Mungkinkah mukaku sekarang memerah?  

“Aku tidak ... Ya Tuhan, aku sedang mencari pekerjaan selama beberapa bulan ini dan tak kunjung mendapatkan.” Satchel sudah pasrah dibuatnya. “Dan sekarang aku sedang melakukan wawancara untuk menempatkan diri sebagai pengasuh bayi. Tapi sebelum melihat lamaran, aku langsung ditolak karena penampilanku yang seperti ini.” Rasanya Satchel ingin menangis karena sudah mencurahkan hati pada orang asing.  

Kening pria itu mengernyit saat membalas perkataannya. “Kau sedang mencari pekerjaan? Padahal jika melihat dari penampilanmu, aku justru melihat bahwa kau sedang menikmati hidupmu yang sudah layak.” 

Kau tidak bisa melihat hanya dengan penampilan, Kakek Tua, dengusnya dalam hati.

Memang yang ia pakai ini bukankah pakaian murah, melainkan pakaian yang selalu terpajang di sebuah butik atau toko dengan merek terkenal yang harganya bahkan bisa membuat semua orang senyum-senyum sendiri.  

“Tapi kenyataan tidak seperti yang Anda lihat, Kek,” balas Satchel.  

Kemudian Kakek itu malah mengambil sesuatu di saku celananya dan memberikan lembaran kertas.  “Kau bisa datang ke rumah ini dan melamar pekerjaan, kami sedang membutuhkan tenaga kerja.”  

Satchel membaca kartu nama dan tempat tinggal itu dengan saksama. Karena ia tidak langsung percaya dengan orang lain, apalagi banyak sekali modus yang mengatakan bahwa mereka membutuhkan tenaga kerja. Namun, pada saat sampai di sana takutnya ia malah dijual di rumah bordil atau menjadi korban perdagangan manusia.  

“Bukankah ini adalah rumah besar yang aku kunjungi tadi?” Bibirnya sedikit berkedut dan kemudian membuka koran untuk memastikan alamat yang sama pada kartu nama tersebut.  

Benar saja dugaanku!  

Satchel langsung menatap pria baya yang sedari tadi memperhatikan seluruh gerakannya. Melihatnya dengan pandangan menyelidik. “Anda tinggal di tempat ini?”  

“Ya.”  

Satchel menghela napas dan merasakan bahwa bahunya merosot sempurna. “Aku sudah ke sana hari ini dan mendapatkan perlakuan tak menyenangkan si pemilik. Pria muda dengan telinga yang ditindik bahkan mengatakan padaku jika aku terlihat seperti penari striptease.” 

Tanpa di duga, Kakek itu justru tertawa hingga membuatnya sedikit terbatuk. “Pasti dia langsung menolak serta mengejekmu, kan?” 

Satchel mengangguk.  

“Sudah aku duga. Tak apa, kau datanglah besok sekitar jam sembilan pagi. Temui aku dan katakan pada penjaga untuk menemui Addy Walton. Aku akan menunggumu sebelum berangkat ke kantor.”  

Seperti mendapatkan angin segar, Satchel berjingkrak-jingkrak. Ternyata Kakek ini penyelamat dirinya. 

Benar seperti harapan, ia bisa menginjakkan kaki di dalam rumah itu besok. Mengatakan pada pria yang sudah mengatainya tadi bahwa dinding rumahnya tidaklah selalu kokoh. Banyak celah yang bisa wanita itu masuki.  

Ia menyeringai, Hai, Tuan Muda, aku tak sabar melihatmu besok dan menjadikan ekspresi jelekmu menjadi leluconku seumur hidup!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status